Hubungan antara Arakan Army (AA) dan pemerintahan oposisi Myanmar, National Unity Government (NUG) pimpinan Aung San Suu Kyi di masa depan diprediksi akan menjadi persoalan pelik dalam peta politik Myanmar pasca-junta. Meski saat ini keduanya tampak berada di pihak yang sama dalam melawan junta militer, catatan masa lalu menyisakan luka dan ketegangan yang belum sepenuhnya sembuh.
Pada Januari 2019, saat Aung San Suu Kyi masih memimpin pemerintahan sipil, ia memerintahkan langsung militer Myanmar untuk melancarkan operasi besar-besaran demi menghancurkan kekuatan Arakan Army. Serangan itu dipicu bentrokan di empat pos polisi yang menewaskan 13 personel keamanan dan melukai sembilan lainnya. AA kala itu dicap sebagai kelompok teroris oleh pemerintah Naypyidaw.
Perintah keras Suu Kyi tersebut menempatkan Arakan Army dalam posisi musuh negara, membuat ribuan warga sipil di Rakhine harus mengungsi dan meninggalkan desa mereka. Sejak itu, hubungan politik antara kubu Suu Kyi dan kelompok bersenjata etnis Rakhine itu membeku di tengah kecamuk konflik bersenjata dan diskriminasi etnis yang berlangsung.
Namun situasi berubah pasca kudeta militer 2021. Saat militer menggulingkan pemerintahan sipil, muncul NUG sebagai pemerintahan tandingan di pengasingan. Di saat bersamaan, Arakan Army mulai memperluas kontrol teritorial di Rakhine, bahkan membangun pemerintahan de facto melalui Arakan People’s Government.
Kini, di tengah perlawanan terhadap junta, AA dan NUG memang saling berinteraksi dalam operasi militer terbatas. AA dilaporkan memasok pelatihan dan senjata kepada milisi rakyat People’s Defense Forces (PDF) yang berafiliasi dengan NUG. Kedua pihak juga disebut melakukan operasi bersama di beberapa kawasan perbatasan.
Kendati begitu, Arakan Army tetap menjaga jarak politik dari NUG. Mereka menolak tunduk pada visi nasional yang diusung kubu Suu Kyi dan memilih membangun pemerintahan mandiri di Rakhine. Pemimpin AA, Twan Mrat Naing, berkali-kali menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan demi Myanmar federal versi NUG, tapi untuk kemerdekaan politik Arakan.
Masa depan hubungan keduanya akan sangat ditentukan oleh siapa yang menang dalam konflik bersenjata Myanmar. Jika junta tumbang dan NUG kembali berkuasa, AA dipastikan menuntut konsesi besar. Mereka takkan begitu saja melupakan instruksi penghancuran yang pernah dikeluarkan oleh Suu Kyi terhadap kelompok mereka.
Kemungkinan terburuknya, AA bisa kembali berseteru dengan NUG jika hak otonomi penuh di Rakhine tak diakomodasi. Arakan Army saat ini sudah memiliki kekuatan bersenjata sekitar 30.000 personel, kendali atas wilayah strategis di Rakhine, pemerintahan sendiri, serta simpati sebagian Rohingya dan etnis minoritas lain.
Sementara NUG tengah berupaya membangun koalisi luas dari berbagai kelompok etnis bersenjata di seluruh Myanmar, situasi di Rakhine berbeda. AA memiliki pengaruh mutlak di wilayahnya, dan tidak tergantung pada NUG secara politik maupun logistik. Ini yang membuat posisi negosiasi mereka menjadi sangat kuat.
AA bahkan sudah mengembangkan sistem militer independen lengkap dengan struktur komando regional, pasukan paramiliter, hingga armada kapal patroli kecil untuk pengamanan sungai. Pemerintahannya memiliki departemen kesehatan, pendidikan, agama, ekonomi, hingga pengadilan rakyat, sesuatu yang belum dicapai banyak kelompok perlawanan lain.
Keberhasilan AA membangun basis pemerintahan sendiri bisa menjadi ancaman bagi NUG di masa depan. Sebab ketika NUG kembali berkuasa, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa AA bukan sekadar kelompok bersenjata, tetapi sudah bertransformasi menjadi entitas politik setara negara bagian.
Jika NUG berani mengulangi pendekatan keras era Suu Kyi terhadap AA, konflik horizontal bisa kembali pecah di Rakhine. Sebaliknya, kompromi dan pemberian otonomi khusus bisa jadi satu-satunya cara damai. Namun, konsesi seperti itu juga berisiko ditentang kelompok etnis lain yang masih memperjuangkan hal serupa di wilayah masing-masing.
Skenario optimistisnya, NUG dan AA bisa menyepakati model federalisme yang memberikan ruang otonomi luas bagi Rakhine, diikuti oleh pengakuan terhadap pemerintahan Arakan People’s Government sebagai otoritas lokal. Namun, skenario ini butuh itikad politik dan kompromi berat dari kedua belah pihak.
Sementara skenario buruknya, jika NUG kembali memegang kekuasaan tanpa menawarkan otonomi, AA bisa menarik diri dari koalisi anti-junta dan melanjutkan perjuangan bersenjata demi kemerdekaan penuh. Sejarah konflik di Myanmar menunjukkan, ketegangan antar etnis bersenjata kerap pecah bahkan setelah musuh bersama tumbang.
AA pun memiliki kalkulasi bahwa mereka lebih aman mengendalikan Rakhine secara mandiri ketimbang kembali masuk dalam struktur negara Myanmar. Keberhasilan mereka membangun pemerintahan sendiri membuat banyak komunitas di Arakan melihat AA sebagai pelindung dan representasi politik sah.
Oleh karena itu, masa depan hubungan antara Arakan Army dan NUG sangat ditentukan oleh sejauh mana NUG bersedia mengubah pendekatan politiknya terhadap Rakhine. Masa lalu yang kelam tak mudah dilupakan, tapi peluang damai tetap terbuka jika kedua belah pihak bisa menyepakati formula politik baru.
0 Komentar