Abdul Rahman Saleh Politikus Partai Bulan Bintang yang Pernah Jadi Wartawan, Hakim Agung dan Jaksa Agung

Buku karya Abdul Rahman Saleh



KONVENSI CAPRES PBB -- Abdul Rahman Saleh adalah politikus Partai Bulan Bintang yang pernah menjadi Wartawan, Hakim Agung dan Jaksa Agung.

Ia juga dikenal bersih dan berani berbeda pendapat. Pria berumur 60 tahun ini terkenal keberaniannya dalam memberikan dissenting opinion (berbeda pendapat) dengan koleganya dalam menangani kasus.

Abdul Rahman lahir di Pekalongan, 1 April 1949. Lulusan Fakultas HukumUniversitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu mengambil jurusan notariat di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).

Abdul Rahman Saleh pernah juga menjadi wartawan harian Nusantara Jakarta (1968-1984). Sebagai kolumnis di beberapa media massa, Abdul Rahman Saleh pernah menjadi Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta (1981-1984) dan kini menjabat Sekretaris Dewan Penyantun Yayasan LBH Indonesia.



Sebagai pengacara, Abdul Rahman pernah membela kasus subversi Sawito Kartowibowo, subversi Imran (pembajakan pesawat terbang), dan membela Asep Suryaman. Sebelum menjadi Hakim Agung, Abdul Rahman Saleh adalah anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) mewaliki Partai Bulan Bintang.

Daftar kekayaan pribadi yang dimilikinya meliputi sebuah rumah tinggal di Jalan Arus Cawang, sebuah mobil Kijang tahun 1997 serta deposito di Bank Mandiri senilai Rp 605 juta, deposito Tabungan Baliprogres Rp 81.446.975 dan rekening mutu Bank Bali sebesar Rp 12.965.727. (sumber)

Baca: Kiprah Politikus PBB Abdul Rahman Saleh: 'Sunan Gunung Jati' di MA

Karir


  1. Wartawan harian Nusantara Jakarta (1968-1972)
  2. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta (1981-1984)
  3. Sekretaris Dewan Penyantun Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI
  4. Notaris/PPAT (1992 - 1999).
  5. Hakim Agung/ Ketua Muda Mahkamah Agung (1999 - 2004).
  6. Jaksa Agung RI (Oktober 2004 - Mei 2007).
  7. Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh R.I. untuk Kerajaan Denmark merangkap Lithuania (sejak 14 Juni 2008).

Arsip:

PERNYATAAN Mantan Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh tentang permasalahan hukum dalam tubuh penegak keadilan di Indonesia bukan isapan jempol. Arman—panggilan akrab Abdul Rahman Saleh—menuangkan permasalahan ini dalam bukunya berjudul "Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz, Memoar 930 Hari di Puncak Gedung Bundar"yang di bedah pada Jumat (24/10).

Selama bertugas, Arman yang dilantik SBY pada 21 Oktober 2004 sebagai Jaksa Agung periode 2004-2007 telah banyak melahirkan kebijakan internal. Aturan itu dibuat untuk meningkatkan kedisiplinan hingga memperkecil ruang gerak ‘permainan’ para jaksa nakal. Upaya yang dilakukan antara lain membentuk Satuan Tugas Anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme guna memerangi korupsi di lingkungan kejaksaan.

Selain itu, pria kelahiran 1 April 1941 di Pekalongan ini memperketat izin berobat para jaksa ke luar negeri. Jika jaksa mau berobat ke luar negeri, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) harus membuat pernyataan tidak sanggup mengobati jaksa tersebut di Indonesia. “Jadi, tidak sembarangan dokter praktek di ujung gang, kasih surat keterangan ke luar negeri. Enak banget,” tandasnya pada TEMPO tahun 2004 silam.

Arman yang pernah menjadi pemain film ‘Wali Songo’ (1982) sudah sangat memahami ‘skandal’ di tubuh instansi vertikal berlambang neraca dikelilingi padi dan kapas ini. Sebelum menjabat Kajagung di era Kabinet Indonesia Bersatu, Arman pernah pula ‘ngepos’ di gedung bundar itu. Dia pernah menjadi wartawan Harian Nusantara pada tahun 1968-1972. Masa itu, dia diposkan ke gedung Kejaksaan Agung yang beralamat di Jalan Sultan Hasanuddin No.1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Selama meliput di Kejagung, Arman sosok wartawan yang kritis. Ia menulis serinci mungkin setiap penyimpangan di dalam penanganan perkara. Daya kritisnya sempat menarik perhatian Masdulhaq Simatupang, Kepala Humas Kejagung. Masdulhaq menawarinya menjadi pegawai kejaksaan yang ditempatkan di biro humas.

Namun, clue di dapat tak mampu mengatasi ‘noda’ di tubuh jaksa-jaksa nakal. Hingga menjabat Jaksa Agung, dia kesulitan akibat banyaknya campur-tangan dan kepentingan untuk melumpuhkan proses penerapan hukum yang akan ditegakkan. “Banyaknya kasus aparat penegak hukum, tidak terlepas dari budaya Bangsa Indonesia yang memiliki reputasi feodal,” sesalnya pada acara peluncuran buku itu.

Pada 9 Mai 2007 lalu, Arman yang juga mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tak punya ‘gigi’ untuk mengutak-atik kinerja para jaksa. Baru menjabat Kajagung selama tiga tahun kurang 165 hari, Arman ‘dicopot’ secara santun oleh SBY. Informasi beredar, terseretnya Arman keluar dari gedung bundar itu akibat adanya hasutan dari beberapa anggota DPR-RI ke presiden yang ‘alergi’ melihat sepak-terjang Arman dalam penegakan hukum di Negara berlambang burung Garuda ini.

Kini, jebolan fakultas hukum universitas Gadjah Mada Jogjakarta ini diberikan ‘mainan’ baru oleh SBY. Pada 8 April 2008, Arman dilantik SBY menjadi Duta Besar Indonesia untuk Denmark dan Lithuania hingga sekarang.

Namun, ‘pembuangan’ yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap dirinya tak serta-merta memotong tangan 'pewartanya’ dalam mengungkap kebobrokan moral penegak hukum di Indonesia. Dalam tulisannya diatas kertas putih berdimensi 140 x 210 mm setebal 528 halaman, lelaki berusia 67 tahun beristrikan Annisa ini mengupas tuntas ‘warna-warni’ penegakan hukum di Indonesia. (sumber)


Posting Komentar

0 Komentar