Apa jadinya seandainya Perancis menerapkan presidential threshold? Orang seperti Macron yang hanya didukung gerakan rakyat En March! (EM) dan Marine Le Pen dari Front Nasional (FN) tidak mungkin mencalonkan diri menjadi Presiden.
Dalam sejarahnya, meskipun sistem pemilihan presidennya tidak mengenal ambang batas, namun Presiden Perancis hanya dikuasai oleh tokoh-tokoh dari dua partai politik yang menang secara bergantian, yaitu tokoh dari Partai Republik (Les Republicairs/LR) dan tokoh dari Partai Sosialis. Baru pada Pilpres Perancis 2017 memenangkan tokoh yang bukan berasal dari kedua partai politik itu.
Macron sebenarnya calon kuat dari Partai Sosialis. Dia berpeluang besar memenangkan konvensi calon Presiden dari partai itu. Tapi dengan pertimbangan kemuakan masyarakat kepada partai-partai politik mapan, termasuk sosialis, Macron justru membuat partai politik sendiri dan bahkan menghindarkan pencitraan dirinya sebagai “sosialis” atau sebagai orangnya Hollande. Ternyata pilihannya tepat.
Awalnya, sekitar April 2016, Macron terinspirasi dengan gerakan-gerakan pembaruan di sejumlah negara Eropa yang digalang oleh anak muda. Dia pun dengan merekrut relawan muda membangun gerakan en march! (maju). Gerakan itu mendatangi sekitar 300-an ribu rumah di Perancis, selain mengenalkan diri juga melakukan survei dengan metode wawancara mendalam tentang apa sih yang sesungguhnya diinginkan warga Perancis?
Setelah terpilih menjadi Presiden Perancis gerakan EM berubah menjadi partai politik dan ikut pada Pemilu Legislatif baru-baru ini. Ternyata EM yang baru satu tahun berdiri juga berjhasil memenangkan Pemilu Legislatif di Perancis.
Padahal sebelum Macron tampil, peta politik Perancis hampir dipastikan jatuh ke politisi sayap kanan-tengah yang diwakili Francois Fillon dari LR atau politisi sayap kanan radikal Marine Le Pen dari FN. Elektabilitas kedua tokoh ini berkejar-kejaran. Tapi menjelang pemilihan 23 April 2017 elektabilitas Macron mampu menyodok Fillon namun masih berada di bawah Marine Le Pen. Secara keseluruhan Pilpres Perancis 2017 diikuti oleh 12 Capres. Selain Fillon dan Hammon, muncul kandidat kuat lainnya, yaitu Marine Le Pen dan Jean-Luc Melenchon dari la France Insoumise (FI) yang secara tidak terduga suaranya bertengger di posisi 4 besar, mengalahkan Hamon.
Diantara 47.582.183 pemilih terdaftar dan 37.003.728 (77.77%) pemilih yang datang ke bilik suara, ada 4 kandidat yang meraih suara lebih dari 7 juta pemilih, masing-masing Emmanuel Macron (8.656.346 suara atau 24,01%), Marine Le Pen (7.678.491 suara atau 21.30%), Francois Fillon (7.212.995 suara atau 20,01%) dan Jean-Luc Melenchon (7.059.951 suara atau 19,58%). Sedangkan Hamon sendiri hanya meraih 2.291.288 suara atau 6,36%.
Tampilnya Macron dan Le Pen pada babak kedua Pilpres Perancis disebut-sebut banyak kalangan sebagai bentuk kemuakan Rakyat Perancis terhadap tokoh-tokoh dari partai politik mapan. Terlebih Fillon Capres terkuat diberitakan oleh koran satir Le Canard enchaine diduga telah merekrut anggota keluarganya dalam jabatan fiktif sebagai asisten Parlemen. Hamon dari Partai Sosialis juga dikabarkan terlibat sejumlah skandal. Maka untuk pertama kalinya dalam sejarah, Pilpres Perancis di babak penentuan tidak diikuti salah satu wakil baik itu dari LR maupun PS.
Marine Le Pen adalah Ketua Front Nasional sejak 16 Januari 2011. Dia juga putri pendiri FN, Jean-Marie Le Pen yang pada 5 Mei 2002 juga tampil ke putaran kedua Pilpres Perancis. Namun langkahnya dihentikan oleh Jacques Chiraq yang meraih suara 82 %. Selama ini FN, seperti halnya kelompok nasionalis di belahan Eropa lainnya, dianggap sebagai kelompok populis sempalan yang tidak pernah memenangkan pemilu.
Pada pemilu 7 Mei 2017 pun langkah Le Pen juga dihentikan oleh Macron dengan 66,06 %. Marine Le Pen pun mengakui keunggulan lawannya. Kini Macron resmi dilantik menjadi Presiden Perancis dalam usianya yang ke-39, atau Presiden termuda sepanjang sejarah Perancis.
Belajar dari Pemilu Presiden Perancis mestinya Indonesia juga mulai tidak memberlakukan kembali ketentuan ambang batas presiden (Presidential Threshold/PT) untuk calon-calon presidennya. Apalagi ambang batas PT 20-25 % yang maksimal Pilpres hanya diikuti oleh 4-5 pasang Capres-Cawapres dan itu hanya terjadi pada Pilpres 2004 ketika ambang batas PT hanya 15%.
Tidak seperti di Perancis yang lebih memungkinkan tokoh muda seperti Emmanuel Macron tampil dan menang. Karena Demokrasi itu sendiri pada prinsipnya harus menyediakan mekanisme yang sehat untuk mengatur proses pergantian kekuasaan. Kemuakan terhadap elite politik yang ada lebih bisa tersalurkan dengan memilih elite-elite politik yang lebih dipercaya mengartikulasikan kepentingan pemilihnya.
Membatasi Pilihan
Ada satu joke menarik yang ditulis tokoh gerakan Mahasiswa 78 Sukmadji Indro Tjahjono di akun facebooknya. Intinya aktivis ITB yang pernah dipenjarakan oleh pemerintahan Orde Baru itu menulis, kita sebenarnya mau memilih daging sapi, tapi yang terhidang di “meja pemilu” hanya Oncom dan Bongkrek.
Karena PT memang, pertama, memberikan kuasa penuh kepada elite partai politik menyortir calon-calon Presiden, dan kedua, sekaligus memberikan kewenangan penuh kepada partai politik untuk menghidangkan calon presiden sesuai dengan seleranya. Dengan mekanisme seperti ini kemuakan terhadap elite politik tidak akan pernah tersalurkan melalui mekanisme demokrasi yang ada.
Para oligarch yang membajak apa pun partai politik jelas akan membatasi pilihan rakyat. Maka demokrasi prosedural yang sedang berjalan ini tampak artificial (dibuat-buat) karena pada kenyataannya membatasi ruang politik rakyat justru saat rakyat mewujudkan kedaulatannya melalui pemilihan umum.
Kenapa pemerintah ngotot dengan PT? Tidak terlalu salah kalau ada yang menyebut paranoid. Mungkin pemerintah tidak percaya diri dengan “keberhasilan” yang digembar-gemborkan akan cukup mempengaruhi elektabilitasnya. Sebab kalau sebuah rezim sudah bekerja dengan tingkat kepuasaan publik yang tinggi sebgaiaman tercermin di sejumlah jajak pendapat kenapa takut dengan munculnya banyak pesaing?
Sebagus apapun peradaban suatu negara, baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya, lambat laun dia akan aus dan terkikis oleh kehendak zaman yang selalu berubah. Sistem politik yang kaku seperti penerapan PT tentu tidak matching dengan dinamika perubahan. Sistem pilpres yang lebih fleksibel seperti di Perancis akan lebih memungkinkan lahirnya generasi-generasi baru kepemimpinan yang lebih responsif dalam menjawab perubahan.
Sebut saja, bagaimana PT dapat mengatasi kesenjangan sosial? Jelas tidak ada rumusnya. Sebab calon pemimpin yang hadir kemungkinan besar adalah bagian dari status-quo yang menciptakan kesenjangan sosial itu sendiri. Paling yang muncul adalah program-program jaring pengaman sosial yang justru membuat ketergantungan. Ibarat sakit gigi yang dibasmi hanya rasa sakitnya, bukan kuman dan bacteri penyebab penyakitnya.
Oleh karenanya, belajar dari kemenangan Macron, sudah semestinya pemerintah tidak terlalu ngotot dengan memaksakan presidential threshold yang ternyata hanya membatasi pilihan rakyat. Biar rakyat sendiri menyaring siapa calon presidennya dengan masing-masing partai politik boleh mengajukan calon presidennya. Toh kalau tidak ada yang meraih single majority ada putaran kedua, seperti di Perancis, yang hanya diikuti oleh dua calon Presiden.
Memang, model pemilihan Presiden di Perancis bukan satu-satunya cara menemukan Calon Presiden yang benar-benar dikehendaki oleh rakyat. Tapi dengan sistem multi-partai seperti halnya Indonesia, cara pemilihan Presiden Perancis yang tidak menganut ketentuan presidential threshold patut dijadikan pertimbangan.
Terus terang saja, dengan ketentuan Presidential Threshold benar kata Sukmadji Indro Tjahjono, rakyat maunya daging sapi tapi yang tersedia hanya oncom dan tempe bongkrek. Jadi memang sebaiknya ketentuan Presidential Threshold tidak usah diberlakukan. Karena akan menghambat kepentingan rakyat untuk memilih calon presiden yang benar-benar dikehendakinya.[Rizal Ramli]
0 Komentar