Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima permohonan Rizal Ramli yang meminta presidential threshold atau ambang batas presiden dihapus. Atas kekalahan itu, Rizal menilai para hakim konstitusi tidak memiliki bobot intelektual.
"Para hakim di MK tidak memiliki bobot intelektual, kedewasaan akademik, dan argumen hukum yang memadai untuk mengalahkan pandangan kami," kata Rizal Ramli kepada wartawan, Minggu (18/1/2021).
Rizal Ramli menyatakan saat ia mengajukan permohonan itu, ia sudah skeptis. "Ini karena kami melihat track record MK selama ini lebih menjadi 'Mahkamah Kekuasaan'. Keputusan-keputusan MK terkait kebijakan selama ini lebih banyak membenarkan status quo. Wajar kami skeptis. Tetapi saya tidak mau suuzan atau praduga yang negatif. Itulah alasan kami tetap mengajukan JR ini," beber Rizal.
Namun hasilnya seluruh hakim MK menolak legal standing Rizal Ramli. MK berdalih Rizal Ramli diminta membuktikan bahwa dia didukung jadi presiden oleh parpol tapi tidak bisa membuktikannya.
"Kami sangat kecewa dengan putusan MK, yang tidak memiliki argumen hukum yang kuat. MK lebih mendengarkan suara kekuasaan. MK ketakutan membiarkan kami hadir di pembahasan substansi perkara," cetus Rizal.
Rizal Ramli tetapi meyakini bila sistem presidential threshold sebesar 20 persen merupakan legalisasi dari sistem politik uang dan kriminal yang merusak kehidupan bernegara dan merugikan kepentingan sosial ekonomi rakyat. Menurut Rizal Ramli, saat ini di seluruh dunia ada 48 negara yang menggunakan sistem pemilihan dua tahap seperti di Indonesia tetapi tidak ada pembatasan semacam presidential threshold.
"Para hakim MK yang menolak pembahasan masalah yang sangat prinsipil ini menunjukkan kelemahan pemahaman mereka terhadap sistem demokrasi dan tanda dari gejala kepicikan dan kecupetan berpikir," ungkap Rizal Ramli.
Bahwa akibat sistem tersebut, kata Rizal Ramli lagi, kekuatan uang menjadi sangat menentukan bagi pemilihan pemimpin di Indonesia. Kelompok utama yang mendukung sistem demokrasi kriminal adalah para bandar/cukong yang membantu biaya menyewa parpol, pollster, public relations, dan kampanye di media sosial sang calon.
0 Komentar