Sabar Sitanggang |
KONVENSI CAPRES PBB -- Demokratisasi ala Mesir: Membaca Ulang Ibnu Khaldun
Oleh: Sabar Sitanggang (Mahasiswa Program Doktor Departemen Sosiologi FISIP UI)/ Ditulis tahun 2011
Permulaan tahun 2011 dapat disebut awal yang berat bagi Negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika. Perhatian jutaan pasang mata di se-antero jagad hari ini, tertuju pada kawasan Timur Tengah dan Afrika. Tunisia, Mesir, Yaman, Libya dan mungkin beberapa negara lainnya tengah dilanda angin perubahan. Gelombang demokratisasi tengah berlangsung di beberapa Negara belahan benua Afrika dan Timur Tengah itu. Apa yang menyatukan semangat itu, banyak spekulasi berkembang, meski sebagain besar pengamat setju bahwa isu utamanya adalah ‘dilanggarnya’ asas keadilan yang dirasakan oleh masyarakat kedua negara.
Bila kita mau melihat lebih jauh, sesungguhnya ada catatan sejarah yang dapat merekatkan kesamaan Negara-negara dengan basis berbahasa Arab itu, , hal itu tersimpul pada himpunan ddari beberapa kata, Abdul-Rahman-bin-Khaldun. Seorang Muslim Jenius yang lahir di Tunisia (1332 M) dan meninggal serta dikuburkan di Kairo (1406 M). Apa kaitan Ibnu Khaldun dengan krisis politik yang terjadi di kedua negara itu?
Biografi dan Karya Khaldun
Catatan berikut, yang dihimpun dari beberapa sumber tentang Ibnu Khaldun mungkin bisa memberi sekadar inspirasi. Al-‘Allama, yang diindonesiakan kira-kira berarti Sang Maha Guru, adalah judul novel yang ditulis oleh Dr. Benslem Himmish, pemikir, sastrawan, Doktor jebolan Universite de Paris, dan kini menjabat Menteri Kebudayaan Maroko, tentang Ibnu Khaldun. Novel yang diangkat dari perjalanan hidup Ibnu Khaldun itu pun diganjar anugerah Naquib Mahfouz Award dari Pemerintah Mesir tahun 2002. Novel ini menceritakan tentang aktifitas Ibnu Khaldun yang memutuskan bertempat tinggal di pinggiran Sungai Nil, ditemani Sya’ban, Pembantu setianya, dan kisah tentang cinta kedua-nya, juga keterlibatannya dalam pemerintahan Dinasti Mamluk serta pertemuannya dengan Timur Lang yang, Jenderal Penakluk dari Tartar, yang fenomenal.
Berikutnya buku An Arab Philosophy of History: Selection from the Prolegomena of Ibn Khaldun of Tunis, yang dikarang oleh Charles Issawi, mantan Adjunct Professor of Political Science, American University di Beirut. ‘Meskipun’ hanya merupakan ringkasan dan sekadar ulusan atas karya besar (Magnum Opus) dari Ibnu Khaldun, buku ini memuat kesaksian sejarawan Arnold J. Toynbee, penulis A Study of History, dan Filosof George Sarton, penulis Introduction to the History of Science. Kedua orang itu itu sudah lebih dari cukup.
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, merasa perlu menyisipkan sketsa biografi singkat Ibnu Khaldun dalam buku ajar sosiologi -yang diperpegangi oleh hampir semua universitas di seluruh dunia yang menawarkan jurusan sosiologi, Modern Sociological Sociology, 6th Edition (McGill), dan menyisipkan kalimat, “Tak seorang pun pemikir Abad 17 itu yang menganggap diri mereka sebagai sosiolog, dan sedikit sekali di antara mereka yang kini dianggap sebagai sosiolog. Untuk diskusi perkecualian, lihat bografi Ibnu Khaldun”. Sebuah ungkapan yang jujur. Secara ringkas, inilah Ibnu Khaldun!
Dilahirkan pada 27 Mei 1332 M/732 H di Tunisia dari keluarga Bani Khaldun yang banyak berkarer di bidang politik dan akademik. Nama lengkapnya adalah Abu Zaid Abdur Rahman bin Muhammad bin Khaldun as-Hadrami. Sering dipanggil juga dengan Waliyudin. Perjalanan hidup Ahli hokum (mazhab Maliki), sejarawan, filsuf, negarawan, sosiolog dan pelopor ilmu ekonomi ini penuh petualangan. Sebentar mendekam di penjara, tiba-tiba dibebaskan dan diberi kedudukan tinggi, namun tak lama kemudian harus hidup dalam pengasingan.
Kepeloporannya dalam filsafat sejarah tak tertandingi, termasuk oleh Plato, Aristoteles dan Agustinus sekali pun (Robert Flint, History of the Philosophy of History, Blackwood & Son Ltd). Toynbee, menyebut Muqaddimah Ibnu Khaldun, sebagai karya terbesar dalam filsafat sejarah yang pernah dihasilkan oleh kecerdasan manusia di setiap waktu dan tempat. Banyak karya Toynbee yang diilhami oleh Ibnu Khaldun.
Dalam ekonomi, teori-teorinya juga yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Laffer, penasihat ekonomi Presiden Ronald Reagen, yang menemukan Teori Laffer Curve, dengan terus terang mengaku telah mengambil konsepIbnu Khaldun. Ibnu Khaldun mengajukan obat resesi ekonomi, yaitu memperkecil pajak dan meningkatkan ekspor pemerintah. Dengan segala predikat dan kejeniusan yang melekat pada diri Ibnu Khaldun, pertanyaannya apakah kaitannya dengan krisis dan gelombang demokratisasi yang tengah terjadi di Timur Tengah dan Afrika hari ini?
Sebagai sebuah sistem yang fundamental, ekonomi -menurut Ibn Khaldun, adalah centrum bagi sebuah bangsa. Bila ekonomi suatu negara goyah akan goyah pula semua sendi peri-kehidupan bangsa itu. Pada bagian lain, Khaldun menyebutkan, “…karena itu apabila orang mundur dalam kegiatan ekonominya, maka pasar akan lesu dan keadaan masyarakat pun akan menjadi buruk. Dan memburuknya keadaan dalam masyarakat itu akan diikuti oleh kelemahan Negara, karena Negara itu adalah sebagai ‘Bentuk’ yang keadaannya mengikuti ‘Benda’-nya, yaitu Masyarakat. Hancurnya masyarakat itu membawa lemah dan hancurnya Negara”.
Teori Khaldun, setidaknya terbukti dan telah terjadi di Indonesia. Krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter telah pada tahun 1997 telah melumpuhkan sendi-sendi perekonomian Indonesia, pada gilirannya merambah pada timbulnya gejolak sosial 1998 yang melahirkan Reformasi. Bagaimana dengan Tunisia dan Mesir? Sama saja. Persoalan ekonomi yang melilit kedua Negara telah menimbulkan keresahan masyarakat. Daerah-daerah yang jauh dari pusat kota (desa dalam bahasa Ibnu Khaldun) mengalami ketegangan -bahkan sampai tingkat krisis, ekonomi. Padahal -masih menurut Ibnu Khaldun, kehidupan desa adalah lebih tua daripada kehidupan kota, karena kehidupan desa adalah asal dari kehidupan kota yang beradab dan sumber yang terus menerus daripada persediaan manusia untuk kota-kota. Sementara pada bagian lain, tegas-tegas disebutkan oleh Ibnu Khaldun bahwa terbentuknya suatu Negara (kerajaan, dinasti atau apapun namanya), di atas solidaritas rakyat banyak, “kerajaan dan dinasti hanya bisa ditegakkan atas bantuan dan solidaritas rakyat banyak”. Dan solidaritas terbesar dan kuat ada di desa. Reformasi Mei 1998 Indonesia, dan Tragedi Januari Tunisia dan Mesir telah mencabaik-cabik solidaritas rakyat yang seharusnya tetap dijaga dan dipertahankanoleh penguasa. Maka berakhirnya rezim Orde Baru Soeharto dan Tunisia adalah hal yang wajar.
Nasehat Khaldun
Seperti disebutkan oleh Rasullullah shallallahu ‘alaihi [wa alihi] wasallam, setelah utusan ke Penguasa Iskandariyah, Muqauqis, Hathib ibn Abi Balta’ah kembali ke Madinah, Mesir akhirnya benar-benar ditaklukkan oleh Islam. Peristiwa penaklukan Mesir oleh tentara Islam terjadi pada masa Khulafa’ Rasyidin, tepatnya pada tahun 20 H/640, masa pemerintahan ‘Umar ibn al-Khattab (13 H/634-23 H/644). Panglima dalam penaklukan tersebut adalah ‘Amr ibn al-Ash. (al-Buthy, 2010).
Mesir memang lekat dengan pergantian rezim melalui revolusi. Mesir modern dimulai dengan pemerintahan Muhammad ‘Ali (1805-1848). Inggris menduduki Mesir pada 1882. Sejak itu, Mesir kehilangan kemerdekaannya. Selanjutnya, antara 1914 – 1922 Mesir menjadi Protektorat Inggris dan baru merdeka pada tanggal 28 Pebruari 1922 dan mengambil bentuk Monarki Konstitusional di bawah Faruq. Pada tanggal 23 Juli 1952 terjadi Revolusi yang dipimpin oleh Muhammad Najib. Mesir kemudian menjadi Republik pada 18 Juni 1953 dengan Najib sebagai Presiden dan Perdana Menteri. Selanjutnya Gamal Abdul Nasser menyingkirkan Najib pada 1954 dan terpilih sebagai Presiden pada 1958. Nasser meninggal pada 1970 dan digantikan oleh wakilnya Anwar al-Sadat. Presiden Sadat terbunuh pada 6 Oktober 1981 dan selanjutnya digantikan oleh wakilnya Hosni Mubarak. (Mulia, 2000). Sejak saat itu Mubarak memimpin Mesir sendirian. Setelah 30 tahun memerintah, di tengah desakan mundur dari jutaan warga Mesir, Mubarak menunjuk Sulaeman sebagai Wakil Presiden.
Mesir merupakan contoh terbaik dari berbagai pengaruh kompleks Islam pada perkembangan sosial politik. Sejak beberapa dasawarsa, Islam merupakan bagian dari arena politik, yang dipergunakan baik oleh pemerintah maupun oposisi. Mesir merupakan tempat lahirnya nasionalisme Arab. (Esposito, 1992). Bahkan, prinsip-prinsip syariat dalam artian kaidah-kaidah fikih, telah diakomodasi dalam perundang-undangan, khususnya bagian-bagian yang sesuai dengan semangat zaman. Sistem adopsi atas prinsip-prinsip dan opini mazhab fikih itu, dilakukan oleh para pembuat undang-undang atas pertimbangan yang paling mendekati semangat kekinian dan paling sesuai untuk kondisi sosial rakyat Mesir. (Asymawy, 2003).
Bila demokrasi sudah dipraktikkan, prinsip-prinsip syariat pun telah diundangkan, mengapa jutaan rakyat masih bergolak? Kita perlu penjelasan. Mungkin perlu menelaah kembali catatan kuna yang pernah dibuat oleh seorang mantan hakim di negeri seribu masjid ini, sekitar 700 tahun lalu, Muqaddimah karya Abdul Rahman bin Khaldun.
Pemusatan Kekuasaan
Pada Jilid I Muqaddimah terdapat bab tentang Masyarakat dan Negara. Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh Khaldun tentang hubungan masyarakat dengan timbul, tumbuh dan matinya suatu negara. Menurut Khaldun, adalah termasuk pembawaan negara-negara bahwa kekuasaan akhirnya menjadi terpusat kepada satu orang. Dan sudah menjadi watak negara menimbulkan kemewahan, yang meskipun pada mulanya kemewahan itu menambah kekuatan negara, pada akhirnya kemewahan itu pula merusak moral dengan menarik kejahatan dan kebiasaan-kebiasaan yang rendah. Namun Khaldun juga mengingatkan bahwa sekali usaha pemusatan kekuasaan dalam tangan seseorang tercapai, dan kemewahan serta sifat malas telah merata, maka negara telah mendekati kehancurannya.
Nasser yang merebut kekuasaan dari Najib masih menyediakan kursi wakil bagi al-Sadat. Nasser jatuh, al-Sadat masih membagi kekuasaannya pada wakilnya Mubarak. Tapi, setelah Muabarak berkuasa, ia memegang sendiri kendali kekuasaan. Saat terjepit ia mengangkat Sulaeman sebagai wakilnya. Boleh disebutkan bahwa Mubarak terkena teori pertama, kekuasaan terpusat kepada satu orang, dirinya sendiri. Soal kemewahan?
Modernisasi dan kemajuan Mesir membuat kemajuan yang sangat berarti. Menurut informasi yang dilansir media, bahwa kekayaan Mubarak selama 30 tahun berkuasa melalui kerajaan bisnis yang dijalankan oleh putranya Jamal diperkirakan tidak kurang dari 30 Milyar Dollar Amerika! Di sisi lain, terjadi himpitan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian besar rakyat Mesir. Ketimpangan ekonomi dan terhempasnya perasaan keadilan akhirnya bertemu dalam sebuah aksi solidaritas menuntut mundur Presiden. Mubarak terkena hukum kedua, sudah menjadi watak negara menimbulkan kemewahan, di mana negara termanifestasi dalam kekuasaan tunggal Mubarak dan bisnis Putra Mahkota dan hari ini kemewahan itu pula merusak moral dengan menarik kejahatan dan kebiasaan-kebiasaan yang rendah. Rakyat menyaksikan ketimpangan dan ketidak-adilan dibalut oleh himpitan ekonomi. Pada gilirannya solidaritas murni meski primitif muncul dalam bentuk gelombang protes jutaan rakyat. Meskipun masih ada sebagian rakyat pendemo yang mengatasnamakan pendukung Mubarak.
Tampaknya teori ketiga Khaldun sedang berjalan, bahwa sekali usaha pemusatan kekuasaan dalam tangan seseorang tercapai, dan kemewahan serta sifat malas telah merata, maka negara telah mendekati kehancurannya. Hal ini sangat tergantung dengan eskalasi demonstrasi dan konsolidasi tokoh-tokoh oposisi dalam menyikapi perubahan yang cepat di Mesir.
Khatimah: Pemerintahan yang baik
Belajar dari demokratisasi di beberapa negara, konsolidasi semua kekuatan pro-demokrasi -dan Islam khususnya bagi Mesir, menjadi conditio sine qua non. Bila hal ini gagal, momentum tidak akan datang dua kali. Agenda berikutnya adalah membangun kekuatan melalui pemerintahan yang baik. Untuk hal terakhir, ada baiknya mengikuti saran Khaldun. Ia sesungguhnya telah menyisipkan nasehat yang sangat berharga dengan mengatakan, ”kemudian ketahuilah, bahwa faedah orang yang memerintah bagi rakyatnya terletak bukan pada orangnya, potongannya yang tampan dan rupanya yang elok, pengetahuannya yang luas kecakapannya mengarang yang luar biasa atau otaknya yang tajam, melainkan semata-mata pada hubungannya dengan rakyat”. Demikian Khaldun.
Khaldun tidak berhenti di situ. Ia juga memerikan bagaimana pemerintahan yang baik itu seharusnya. Katanya, ”adapun akan syarat-syarat pemerintahan yang baik, hendaknya orang yang memerintah itu membela rakyatnya dan berhati murah terhadap mereka. Pembelaan adalah sebenarnya raison d’etre daripada pemerintahan, sedang murah hati adalah satu segi dari sifat santun dan lemah lembut orang yang memerintah terhadap rakyatnya dan suatu jalan untuk dapat menambah kesejahteraan rakyat; juga itu adalah salah satu jalan yang utama untuk merebut kecintaan rakyat”.
Memang relevan membaca ulang Ibnu Khaldun di era di mana angin demokratisasi telah merambah di hampir seluruh negeri-negeri Muslim. (sumber)
Bio:
FORMAL EDUCATIONS
(0) Master Program on Faculty of Law University of Indonesia, 2012
(1) Doctor Candidate from University of Indonesia, Department of Sociology, 2010;
(2) Master Degree from University of Indonesia, Department of Middle East and Islamic Studies. 2007;
(3) Graduate from Gadjah Mada University, Department of Nuclear Engineering. 1997;
(4) Senior High School, North Sumatra Province. 1993;
(5) Madrasah Tsanawiyah Al-Washliyah (Islamic Junior School), North Sumatra Province. 1992;
(6) Junior High School, North Sumatra Province. 1990;
(7) Madrasah Ibtida’iyah Al-Washliyah (Islamic Elementary School), North Sumatra Province. 1988;
(8) Elementary School, North Sumatra Province. 1987.
JOB EXPERIENCES
(0) Staf Humas (Public Relation) Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc.
(1) Coordinator for First Regional Consultant of P2KPDT at Ministry Office of Under-Development Regional of Republic of Indonesia, July – December 2009.
(2) Lecturer Assistant at University of Indonesia in Post Graduate (Doctoral Program) Department of Sociology for Research Methodology and SPSS (2009).
(3) Lecturer at Tunas Islam Academy Jakarta for:
a. Statistics (2007 – now);
b. Research Methodology (2008 – 2009);
c. Philosophy of Education (2009 – now)
(4) Lecturer at Widya Jayakarta Academy Jakarta for Mathematical Economy (2007 – 2008);
(5) Political Advisor for Member of Parliament of Republic of Indonesia. 2008 –2009;
(6) Coordinator of Political Advisors of Bintang Pelopor Demokrasi Faction at House of Representative of Republic of Indonesia. 2005 –2007;
(7) Editor in Chief of ABADI Tabloid. 2005 – now;
(8) Vice Editor in Chief of Bulan Bintang Bulletin. 2000 –2002;
(9) Researcher of ENSI YOGYAKARTA for Geothermal Energy at Aceh Province. 1999;
CONFERENCES/SEMINARS
(0) Indonesia Delegation for the 7th General Assembly of the International Conference of Asian Political Parties, Baku - Azerbaijan 21-24 November 2012
(1) Indonesia Delegation for the 5th General Assembly of the International Conference of Asian Political Parties, Astana - Kazakhstan 24 – 26 September 2009;
(2) Observer of Australian Labor Party’s National Conference, Sydney – Australia, 2007.
(3) Participant of International Seminar on INDONESIA: CHALLENGES IN THE 21ST CENTURY CIVIL SOCIETY, ADMINISTRATIVE CULTURE AND GOVERNANCES ISSUES. Under The Auspices of the Ministry of Administrative Reform and the Ministry of Culture and Tourism. Jakarta, September 28th, 2004.
SHORT COURSES /TRAININGS/WORKSHOPS
(1) Political Advisor’s Course, 4 to 8 February 2008. Presented by Graduate School of Government University of Sydney and Australian Labor Party (International Projects);
(2) IPNELS’s Workshop Program on Relations Enhancement, Negotiating and Meeting Management: Enhancement of Political Skills. Cooperating with five Indonesian Ambassador. Jakarta – Indonesia, 11 – 13 August 2007;
(3) CDI Political Party Development Course at Crawford School of Economics and Government, 9-20 October 2006. Canberra – Australia;
(4) Human Rights Course, Renȇ Cassin Institute, 4 – 26 February 2004. Strasbourg – France.
PUBLICATIONS
1. BOOKS
1.1. nge-Blog ala Professor. 2010. Depok. Ar-Rayhan Press. (editor);
1.2. Kenang-Kenangan Masa Kecil. 2010. Depok. Ar-Rayhan Press, (editor);
1.3. Benteng Terakhir Syari’ah. 2008. Depok: Ar-Rayhan Press. (editor);
1.4. Indonesia: Three Hot Issues on Human Rights. 2006. Jakarta: Ar-Rayhan Press;
1.5. Mesir yang Saya Kenal. 2006. Jakarta: Ar-Rayhan Press. (editor);
1.6. Manusia dan Syari’at. 2005. Jakarta: Ar-Rayhan Press;
1.7. Partai Allah, Partai Setan; Agama Allah, Agama Raja. 2005. Yogyakarta: IndonesiaTera. (editor);
1.8. Mengapa 7 Kata?. 2004. Jakarta: CV. Bina Mitra Wisesa Press. (editor);
1.9. Seri Pidato Politik: 2,5 Jam Bersama Yusril. 2002. Jakarta
1.10. Catatan Kritis dan Percikan Pemikiran Yusril Ihza Mahendra. 2001. Jakarta: Bulan Bintang Press. (editor).
1.11. 90 Menit bersama YUSRIL: Relasi Islam, Politik dan Negara. 2012. Jakarta: ar-Rayhan Press (Penyunting).
0 Komentar