Perbandingan Konflik Timur Afrika: DRC dan Sudan Terkini

Republik Demokratik Kongo (DRC) bagian timur kembali menjadi sorotan internasional setelah kelompok pemberontak M23 menguasai kota Goma. Pemberontakan ini menimbulkan kekhawatiran baru terkait stabilitas wilayah dan dampak kemanusiaan bagi penduduk lokal.

Dalam video terbaru yang diunggah YouTube, pemimpin M23, Kony Ng'ang’a, menegaskan tujuan kelompoknya untuk menantang pemerintahan Presiden Felix Tshisekedi di Kinshasa. Pernyataan ini menimbulkan spekulasi bahwa M23 mungkin ingin membentuk struktur pemerintahan paralel seperti yang terlihat di Nyala, Sudan.

Situasi di DRC memiliki kemiripan dengan Sudan, terutama dalam hal munculnya kekuatan bersenjata yang menguasai wilayah signifikan tanpa pengakuan resmi. Di Nyala, Sudan, kelompok RSF membentuk pemerintahan paralel yang beroperasi secara de facto, mirip dengan apa yang dilakukan M23 di Goma.

Namun, perbedaan mendasar terlihat pada skala dukungan eksternal. RSF di Sudan memiliki basis logistik dan politik yang lebih jelas di dalam negeri, sementara M23 dituding menerima dukungan terselubung dari Rwanda, meski Kigali membantah klaim tersebut.

Penguasaan Goma oleh M23 pertama kali terjadi pada 2012 dan kini terulang kembali pada Januari. Penguasaan ini menunjukkan kemampuan milisi untuk mengkonsolidasikan wilayah dan memanfaatkan ketidakstabilan politik di DRC timur.

Video YouTube menampilkan M23 memamerkan “tentara baru” mereka, yang sebagian besar merupakan mantan anggota militer Kongo yang sebelumnya terlibat dalam pertempuran sengit di Goma dan Bukavu. Keterlibatan mantan tentara profesional menambah kapasitas militer M23.

Salah satu tindakan paling mengejutkan adalah penyitaan pesawat tempur buatan Rusia oleh M23 saat pasukan pemerintah Kongo melarikan diri. Pesawat ini kini diklaim digunakan untuk menerbangkan hulu ledak roket, menandakan peningkatan kemampuan militer mereka secara signifikan.

Dibandingkan dengan RSF di Sudan, M23 memiliki kemampuan operasional yang terbatas pada wilayah timur DRC, tetapi keberhasilan merebut pesawat tempur memberikan indikasi potensi kekuatan yang lebih strategis daripada yang terlihat sebelumnya.

Konflik di DRC timur juga memiliki akar historis yang panjang, terkait genosida Rwanda dan sengketa perbatasan kolonial, yang telah berlangsung lebih dari tiga dekade. Hal ini berbeda dengan Sudan, yang konflik internalnya banyak dipicu oleh pertentangan antara militer pusat dan kelompok paramiliter bersenjata.

Dampak kemanusiaan di kedua wilayah sangat mirip. Di Goma, warga sipil menghadapi risiko pengungsian, kekurangan pangan, dan kekerasan terhadap wanita serta anak-anak. Kondisi ini mengingatkan pada krisis kemanusiaan di Nyala dan wilayah Darfur pada masa lalu.

M23 menolak mengakui perjanjian damai yang ditandatangani Gedung Putih karena mereka tidak dilibatkan dalam negosiasi akar konflik. Sikap ini menunjukkan keinginan milisi untuk membentuk legitimasi sendiri di wilayah yang mereka kuasai.

Di Sudan, RSF juga menolak beberapa kesepakatan yang melibatkan pemerintah pusat, menunjukkan kesamaan strategi antara kedua kelompok dalam memperkuat posisi tawar mereka melalui kontrol wilayah nyata.

Sengketa sumber daya menjadi faktor penting. Di DRC timur, mineral strategis seperti koltan menjadi motivasi utama bagi M23, mirip dengan bagaimana kelompok bersenjata di Sudan memanfaatkan ladang minyak dan sumber daya lokal untuk pendanaan operasional mereka.

Perbedaan utama terletak pada konteks geopolitik. DRC berada di jantung Afrika Tengah dengan pengaruh kuat negara tetangga seperti Rwanda, sementara Sudan memiliki hubungan historis dan politik dengan negara-negara Arab dan Afrika Utara.

Kemampuan M23 menahan pasukan pemerintah Kongo menunjukkan bahwa milisi ini bisa mempertahankan kontrol wilayah untuk jangka panjang jika akar konflik tidak diselesaikan. Hal ini mirip dengan RSF, yang mengokohkan posisi di Nyala melalui infrastruktur paralel dan logistik militer.

Pengambilalihan pesawat tempur buatan Rusia memberikan M23 keunggulan strategis yang belum tentu dimiliki RSF. Hal ini dapat mempengaruhi keseimbangan kekuatan di DRC timur dan memberi peluang bagi M23 untuk melakukan operasi lebih luas.

Namun, membentuk pemerintahan paralel seperti di Nyala bukan tugas mudah. DRC memiliki pemerintahan pusat yang meski lemah, tetap memiliki legitimasi internasional yang diakui, berbeda dengan Sudan yang sempat menghadapi fragmentasi lebih dalam.

Pengalaman di Nyala menunjukkan bahwa keberhasilan pemerintahan paralel membutuhkan dukungan politik lokal, kontrol administratif, dan kapasitas logistik yang kuat. M23 harus meniru strategi ini jika ingin menegakkan struktur serupa di Goma.

Dampak konflik ini tidak hanya regional, tetapi juga internasional. Komunitas global menyoroti pelanggaran HAM yang dituduhkan pada M23 dan kekhawatiran potensi eskalasi konflik lintas batas dengan Rwanda.

Akhirnya, masa depan Goma dan timur DRC sangat bergantung pada negosiasi politik, tekanan internasional, dan kemampuan M23 menyeimbangkan kepentingan militer dengan tuntutan warga sipil. Keberhasilan atau kegagalan mereka bisa menjadi studi perbandingan langsung dengan situasi Nyala di Sudan.

Posting Komentar

0 Komentar